Kediri | pledoi.co
Masih dalam balutan suasana “idul Fitri” ada sebuah tradisi masyarakat kita yang selalu terjaga sampai saat ini, yaitu “kupatan”. Kata kupat terinspirasi dari metode dakwah Sunan Kalijaga yang mengkombinasi antara budaya Jawa dengan nilai-nilai keislaman yang menghasilkan tatanan nilai tradisi adiluhung.
Dalam tradisi Jawa kupat memiliki makna filosofi
“Kupat” ngaku lepat (mengakui kesalahannya) dan ada juga yang mengartikan Laku Papat.
Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Tradisi sungkeman sebagai implementasi dari permohonan maaf dan berbakti kepada orang tua kita ataupun sikap saling memaafkan antar sesama kita. Sedangkan laku papat
terdiri dari empat variabel yakni Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan.
Lebaran menandakan telah berakhirnya agenda ritual puasa sebulan penuh yang di tandai dgn wujud syukur membagi bagikan selebaran uang kepada sanak saudara.
Luberan menandakan rizki yang meluber alias rejeki yang melimpah dengan diiringi kewajiban mengeluarkan zakat atau sedekah bagi para fakir miskin, ataupun mereka yang berhak menerima.
Leburan menandakan telah meleburnya kesalahan ataupun dosa di antara kita karena sudah melewati ajaran saling memaafkan antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan laburan merupakan simbol dari kata “labur” yang menggambarkan kegiatan mengecat dinding rumah dengan menggunakan bahan dasar berupa gamping yang di campur dengan air dengan menghasilkan warna putih sebagai simbol bahwa kita sudah benar-benar kembali ke kesucian hati dan tingkah laku Idul Fitri.